Tulisan ini saya ambil dari sebuah buku berjudul “Setengah Isi Setengah Kosong” halaman 16 dengan judul “Hukuman” semoga bisa menjadi sebuah renungan bersama demi sebuah kebahagiaan keluarga.
Dalam buku itu dikisahkan sepasang suami istri yang bekerja meninggalkan anaknya yang berusia tiga tahun bernama Ita, bersama sang pembantu di rumah. Namanya juga anak-anak yang suka mengeksplorasi diri, Itapun demikian. sambil bermain dia mencoret-coret tanah di halaman dengan lidi, sementara pembantunya menjemur kain dekat garasi. Puas dengan mencoret tanah, ia menemukan sebuah paku berkarat dan mulai mencoba untuk menggores-gores mobil ayahnya yang berwarna hitam. karena masih baru, mobil tersebut jarang dipergunakan oleh ayahnya ke kantor. maka, penuhlah mobil tersebut dengan coretan gambar ita.
Begitu ayahnya pulang, dengan bangga Ita memberi tahu tentang gambar-gambar yang sudah dibuat di mobil baru ayahnya tersebut. Bukan pujian yang diterimanya, melainkan kemarahan yang sangat besar. Pertama kali yang kena damprat adalah sang pembantu karena dianggap tidak mengawasi Ita di rumah. Baru giliran anaknya yang dihukum. Demi mendisiplinkan anak, maka si ayah mulai mengajarkan anaknya, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan pukulan. Dipukullah kedua telapak tangan dan punggung tangan anaknya dengan apa saja yang ditemukan di situ. Mulai dengan mistar, ranting, sampai lidi disertai luapan emosi yang tidak terkendali.
“Ampun,”bah! Sakit…..sakit, ampun!” jerit Ita sambil menahan sakit di tangannya yang sudah mulai berdarah-darah. Si ibu hanya diam saja, seolah-olah merestui tindakan disiplin yang ditegakkan oleh suaminya.
Puas menghajar anaknya, si ayah menyuruh pembantu untuk membawa Ita ke kamarnya. Dengan hati yang teriris, sang pembantu membawa Ita ke kamarnya. Sore hari ketika dimandikan, Ita menjerit-jerit menahan pedih. Esoknya tangan Ita mulai membengkak, sementara ayah-ibunya tetap bekerja seperti biasa. Ketika dilaporkan oleh pembantunya, ibu itu hanya mengatakan, “Oleskan Obat saja!”
Hari-berganti hari, hingga suhu badan Ita mulai panas karena luka tangannya sudah terinfeksi. Ketika dilaporkan, orang tuanyapun hanya mengatakan supaya diberi obat penurun panas. Hingga suatu malam panasnya semakin tinggi, bahkan Ita mulai mengigau. Buru-buru mereka membawa Ita yang sudah tampak melemah ke rumah sakit pada malam itu juga.
Hasil diagnosis dokter menyimpulkan bahwa deman Ita berasal dari tangannya yang sudah infeksi dan busuk akibat luka-lukanya. Setelah seminggu diopname di sana, dokter memanggil ayah dan ibunya dan mengatakan, “Tidak ada pilihan lain….”
Dokter mengusulkan agar kedua tangan anak itu diamputasi karena infeksi yang terjadi sudah terlalu parah. “Ini sudah bernanah dan membusuk, untuk menyelamatkan nyawa Ita, tangannya harus diamputasi!”
Mendengar berita itu, orang tua Ita bagai disambar petir. Dengan air mata berurai dan tangan yang bergetar, mereka menandatangani surat persetujuan amputasi anak yang paling dikasihinya.
Setelah sadar dari pembiusan operasinya, Ita terbangun sambil menahan rasa sakit dan bingung melihat tangannya yang dibalut kain putih. Lebih kaget lagi, dia melihat kedua orangtuanya dan pembantunya menangis di sampingnya. Sambil menahan rasa sakit itu, Ita berkata kepada orang tuanya, “Abah…Mama, Ita tidak akan melakukannya lagi… Ita sayang Abah, sayang Mama, juga sayang Bibi. Ita minta ampun sudah mencoret-coret mobil Abah!” Si ibu dan ayah semakin menangis mendengar kata-kata Ita tersebut.
“Bah, sekarang tolong kembalikan tangan Ita, untuk apa diambil, Ita janji tidak akan melakukannya lagi. Bagaimana kalau nanti Ita mau main dengan teman-teman karena tangan Ita sudah diambil. Abah….mama, tolong kembaliin, pinjam sebentar saja. Ita mau menyalami Abah, Mama, dan Bibi untuk minta maaf!”
Menyesal bagi kedua orang tua Ita sudah tiada guna, nasi sudah menjadi bubur.
Mari kita renungkan bersama………….
Labels
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Ucapkan Salam...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment