Have an account?

2.07.2010

Lelaki Itu Belajar Menyudahi Ketergesaan

Oleh Ahmad Zairofi

Lelaki itu akhirnya belajar. Bahwa ketergesaan dalam shalat itu tidak sepatutnya. Dan memang itu tidak dibenarkan. Maka dengan cara yang bijak Rasulullah mengajarinya secara praktikal. Dan selanjutnya pelajaran tentang menjauhi ketergesaan dalam meminta kepada Allah menjadi pilar penting bagi kehidupan umatnya. Selalu ada rahasia manfaat dalam cara Rasulullah menyelesaikan kesalahan sahabatnya.

Usai shalat lelaki itu menemui Rasulullah yang juga sama-sama ada di Masjid. Menyampaikan salam, Setelah itu menjawab salam, Rasulullah menegurnya.

“Kembalillah, ulangi shalat engkau. Sesungguhnya engkau shalat belum shalat.” Lelaki itu kembali shalat. Lalu menemui Rasulullah.

“Kembalilah, ulangi shalat engkau. Sesungguhnya engkau belum shalat,” pinta Rasulullah.

Ia mengulangi sholat. Lalu usai itu ia menemui Rasulullah. Tetapi Rasul memintanya mengulangi lagi. Lelaki itu akhirnya menyerah. Ia pun meminta pengarahan.

“Ya Rasulullah, demi Dzat yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnya aku tidak akan lebih baik lagi dari yang itu. Karena itu ajarilah aku.”


Maka dengan penuh kasih sayang Rasulullah menjelaskan. “Jika engkau mendirikan shalat, bertakbirlah. Lalu bacalah apa yang seharusnya engkau baca dari Al-Qur’an. Lalu ruku’lah sampai engkau benar-benar tuma’ninah ruku’. Lalu bangunlah sampai benar-benar tegak. Lalu sujudlah sampai benar-benar tuma’ninah sujud. Lalu lakukan itu dalam keseluruhan shalat engkau.”

Dalam sepenggal waktu yang kita sediakan untuk meminta, melalui shalat yang lima kali sehari diwajibkan, atau tambahan shalat sunah yang sampai kita susulkan, kita seringkali adalah orang-orang yang tergesa-gesa. Dan tanpa kita sadari, bisa jadi itulah jawaban atas banyaknya kesenjangan dalam hidup antara apa yang kita dapat dan apa yang kita harap. Kesempatan meminta adalah karunia terbesar dari Allah yang Maha Memberi kesempatan. Tetapi kita menggunakannya seringkali dengan setengah hati. Maka kita tidak mendapatkan.

Saat paling sakral dalam hubungan kita dengan Allah, Dzat yang kepada-Nya kita minta, adalah saat beribadah. Sebab di sana ada kehormatan, kesucian, dan kekhusyu’an yang harus dijalani. Shalat misalnya, harus terjauhkan dari najis dalam keadaan bersuci, memenuhi syarat dan rukunnya. Itu sendiri sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa shalat adalah peristiwa dan momen yang sangat istimewa. Diperlukan keluangan hati untuk memberikan waktu yang cukup. Meskipun pada dasarnya itu tidak benar-benar lama dibandng waktu yang kita habiskan untuk kegiatan lainnya.

Shalat menempati posisi tertinggi dalam sarana-sarana yang kita pakai untuk meminta kepada Allah. Aturannya ditetapkan. Cara pelaksanaannya ditentukan. Secara teknis sangat mudah sebenarnya. Tetapi secara kualitas bukan pekerjaan gampang.

Budaya serba cepat yang membentuk kepribadiaan kita di zaman ini, memberi pengaruh buruknya ke sisi-sisi spiritual kita. Semua budaya tergesa-gesa mungkin telah menjadi infrastuktur sosial kita. Merembet ke segala sisi kehidupan kita. Beberapa kepentingan hidup bisa sangat terbantu dengan teknologi yang terus menawarkan kecepatan. Itu ada porsinya. Kata kuncinya efektifitas dan efesiensi. Tetapi meminta kepada Allah, bagaimana mungkin kita melakukannya melalui ibadah yang serba dihemat dan dipercepat dalam ketergesaan.

Tergesa-gesa tidak sama dengan segera. Tergesa-gesa mengandung unsur kecerobohan, ketidaktelitian, dan perhitungan yang tidak matang. Itu sebabnya beberapa kebajikan disarankan untuk dilakukan dengan segera. Tetapi tidak ada satupun perbuatan baik yang disarankan agar dilakukan dengan tergesa-gesa. Melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan segera akan memberikan banyak manfaat. Sekaligus mengurangi segala yang mungkin hilang akibat penundaan. Tetapi melakukan apa saja dengan tergesa-gesa seringkali malah tidak menghasilkan sesuatu yang semestinya.

Dalam shalat sendiri, bila harus tidak memperpanjang pelaksanaannya karena ma’mumnya banyak anak-anak atau perempuan, misalnya, disebut dalam istilah adalah ‘meringankan’ shalat itu. Bentuknya, memperpendek bacaan ayat-ayatnya. Karena itu sunnah. Tetapi tidak sama dengan tergesa-gesa. Begitu juga ketika bepergian atau seseorang sedang musafir. Yang terjadi adalah dibolehkannya memperpendek shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Rahasianya tentu, dalam segala kesulitan perjalanan, dua rakaat bisa dilakukan dengan tenang. Memperpendek tidak sama dengan tergesa-gesa.

Siapapun yang melakukan shalat dengan tergesa-gesa, akan sangat merugi. Akibatnya, seperti diberikan catatan oleh Rasulullah, “Seseorang mungkin saja selesai mengerjakan shalat. Tetapi tidak dicatat nilai shalatnya kecuali sepersepuluhnya, atau sepersembilannya, atau seperdelapannya, atau sepertujuhnya, atau seperenamnya, atau seperlimanya, atau seperempatnya, atau sepertiganya, atau setengahnya.”

Atau seperti kesedihan seorang Umar bin Khatab ketika ia mengatakan, “Boleh jadi seseorang dalam berislamnya telah sampai beruban rambutnya, tetapi belum sekalipun ia melakukan shalat dengan sempurna.”

Dalam perlajaran yang diberikan Rasulullah kepada lelaki itu, secara khusus kata kuncinya ada pada soal perasaan tenang. Sebuah suasana hati yang dianggap cukup untuk merasakan satuan-satuan gerakan shalat dengan penuh. Benar-benar merasa telah sujud. Benar-benar merasa telah ruku’, benar-benar telah merasa duduk. Karena itu, penegasan pentingnya adalah merasakan satuan-satuan gerakan dan aktifitas dalam shalat secara benar-benar. Sesuatu yang disebut dengan tuma’ninah. Sebab benar-benar merasakan setiap gerak dalam shalat, dengan penghayatan yang mendalam, memerlukan kadarnya dari waktu. Itu tidak akan bisa dilakukan dengan tergesa-gesa dan terburu-buru.

Dalam masalah ini, ketergesaan selalu merusak dua aspek sekaligus. Pertama aspek pelaksanaan. Padahal ada sarana kita meminta kepada Allah yang bentuknya ibadah khusus, yang terikat secara khusus dalam tata pelaksanaannya. Bahkan beberapa aktifitas lain bisa jadi membuatnya batal. Dan ketergesaannya menjadikan ibadah itu cacat dan kurang sempurna.

Kedua, aspek pemaknaan. Yaitu kemampuan kita menggali dan menghayati nilai-nilai, dari segala yang kita lakukan di dalam ibadah itu. Seperti perasaan tunduk, takut, harap, kepasrahan, yang merupakan sari pati iman, dan modal besar untuk kita meminta kepada Allah. Ketergesaan tidak akan memberi kita kesempatan memadai untuk bisa menghadirkan makna-makna itu, apalagi mengahayatinya secara lebih bertenaga.

Memang ada ibadah yang pelaksanaannya tidak terikat. Tetapi pemaknaannya yang terikat. Yaitu ibadah yang kita maknai dari segala perbuatan mubah atau halal, yang kita niatkan mencari ridha Allah. Intensitas dan kedalaman pemaknaannya mungkin tidak bisa sepanjang pelaksanaan. Kita memulainya dengan niat karena Allah. Bismillah. Sesudah itu kita mungkin akan sangat terkuras dengan hal-hal teknis terkait dengan pelaksanaan. Tetapi pemaknaannya pada kehendak permulaan dengan niat yang lurus sudah cukup memadai.

Secara spesifik, Al-Qur’an mengajarkan bahwa shalat merupakan satu dari dua sarana sangat penting untuk kita meminta kepada Allah. Bersanding dan tidak bisa dipisahkan dengan kesabaran. “Dan minta tolonglah kamu dengan sabar dan dengan shalat.” Keduanya tidak bisa dilaksanakan dengan ketergesaan. Sebab shalat itu sendiri memerlukan kesabaran. Sebagaimana kesabaran itu juga memerlukan kesabaran.

Karena itu, Khalaf bin Ayyub mengatakan, “Aku membiasakan diri untuk tidak merasa terganggu oleh sesuatu pun yang bisa merusak shalatku.” Orang-orang bertanya, “Bagaimana engkau bisa bersabar dan bertahan?” Ia menjawab, “Aku mendengar kabar bahwa orang-orang fasik yang bisa ‘bersabar’ atas siksaan penguasa, hingga mereka digelari orang yang sabar. Lalu orang-orang itu pun berbangga diri dengan itu. Maka aku yang sedang berdiri di hadapan Tuhanku, bagaimana aku tidak sabar ?”

Pergulatan pikiran, perasaan, khayalan, dan segala lintasan hati mungkin selalu menggoda saat-saat kita menjalankan shalat. Pasti itu tidak mudah dihadapi. Maka memperbaiki secara terus menerus kesabaran kita dalam meminta adalah keniscayaan. Dari waktu ke waktu. Seperti Hatim Al-Asham, mengisahkan, ketika ditanyakan kepadanya bagaimana shalatnya, ia menjawab, “Bila tiba waktu shalat, aku berwudhu dengan sebaik-baiknya. Lalu aku mendatangi tempat yang akan aku pakai shalat, hingga seluruh anggota badanku merasa menyatu untuk shalat. Lalu aku berdiri. Aku bayangkan ka’bah di depanku. Jembatan shirat di bawah kakiku. Surga di sebelah kananku. Neraka di sebelah kiriku. Malaikat maut di belakangku dan aku merasa seperti shalat terakhir kalinya. Lalu aku dirikan shalat antara perasaan penuh harap dan penuh takut. Aku takbir dengan benar. Membaca ayat dengan tartil. Ruku’ dengan penuh tawadhu. Sujud dengan khusyu’, duduk dengan penuh ikhlas. Begitupun aku tidak tahu, apakah shalatku diterima atau tidak.”

Setiap hari kita perlu meminta kepada Allah. Yang tidak merasa perlu meminta kepada-Nya adalah orang yang angkuh. Tetapi yang meminta kepada-Nya dengan setengah hati melalui ibadah tergesa-gesa adalah orang yang bodoh.

Atas ketergesaan dalam sholat dan pengulangan yang belum juga dianggap benar oleh Rasulullah, lelaki itu akhirnya mau belajar. Dan pasti ia telah mengubah kekeliruannya. Meskipun semua literatur hadits menggelari dan mengenangnya sebagai ‘lelaki yang buruk shalatnya’, itu pasti telah terhapus dengan segala pahala atas perannya menjadi pembuka pengajaran abadi untuk orang-orang sesudahnya. Pelajaran abadi tentang bagaimana seharusnya shalat dilaksanakan. Dan pada dasarnya, shalat bagi kita adalah proses belajar yang tidak pernah selesai. Belajar untuk terus memperbaiki cara kita meminta kepada Allah. Belajar untuk senantiasa menguatkan kualitas hubungan kita dengan Allah. Lebih dari itu, belajar untuk mengakhiri segala bentuk ketergesaan lahir maupun ketergesaan dalam pemaknaan.

0 comments:

Post a Comment